Rabu, 15 September 2010

Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan
Konversi Dan PP No. 24/1997

Erna Herlinda

Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang
amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai
tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat
manusia berkubur. Selain itu tanah memiliki lima jenis rent yaitu rent ricardian, rent
lokasi, rent lingkungan, rent sosial, rent politik yang menyebabkan tanah dapat
memberi manfaat kepada manusia.

Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku
bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber
pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum
barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat
nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat
maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA.
Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui
lembaga konversi.

Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA
untuk masuk sistem dalam dari UUPA (A.P. Parlindungan, 1990 : 1).

Untuk terjaminnya hak atas tanah maka oleh MPR dalam Repelita III telah
digariskan suatu program yang harus dilaksanakan dalam pembangunan bidang
pertanahan, yaitu : “Agar pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan
sosial, sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan
kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas
tanah”. Adapun sarana pokok yang diperlukan untuk menjamin hak atas tanah
adalah penataan kembali pemilikan tanah melalui pendaftaran tanah.

Pendaftaran tanah merupakan hal yang penting sebagai bukti hak yang kuat terhadap
hak atas tanah untuk membuktikan sebagai pemilik hak atas tanah secara sah. Di
samping itu pendaftaran tanah yang ditentukan dalam pasal 19 UUPA (UU No. 5 /
1960) merupakan sasaran untuk mengadakan kesederhanaan hukum.

Tentang pendaftaran tanah lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum angka III
alenia terakhir UU No. 5/1960 yang berbunyi : “Adapun hak-hak yang pada mula
berlakunya undang-undang ini semua akan dikonversikan menjadi salah satu hak
yang baru menurut UUPA”.

Jadi semua tanah baik yang dimiliki atas nama seseorang atau Badan Hukum, baik
hak milik adat atau hak atas tanah menurut buku II KUHPerdata diwajibkan untuk
dikonversi kepada salah satu hak-hak atas tanah menurut UUPA dan didaftarkan
sehingga terwujud unifikasi dan kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan
Indonesia sesuai dengan tujuan dari UUPA. Bahkan dalam Pasal 41 PP No. 10 tahun
1961 dan Pasal 63 PP. No. 24 Tahun 1997 akan memberikan sanksi bagi yang
terlambat atau lalai untuk melakukan pendaftaran, baik pendaftaran tanah maupun
pendaftaran hak atas tanah yang diakui sebelum berlakunya UUPA.

Setelah berlakunya UUPA dan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah dan
kemudian telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi
diterbitkan hak-hak yang akan tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali
menerangkan bahwa, hak-hak tersebut merupakan hak adat.

Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik adat atas tanah sebagai bukti
kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38
UUPA maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya
hak milik adat.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimana
pendaftaran hak-hak atas tanah adat menurut kententuan konversi dan PP No. 24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tentang Konversi
1. Pengertian dan Landasan Hukum Konversi

a. Pengertian Konversi
Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu : A.P. Parlindungan
(1990 : 1) menyatakan : “Konversi itu sendiri adalah pengaturan dari hak-hak
tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem dari
UUPA”.
Boedi Harsono (1968 : 140) menyatakan : “Konversi adalah perubahan hak yang
lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA”.

Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah
adalah penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama yaitu
sebelum berlakunya UUPA menjadi status yang baru, sebagaimana diatur
menurut UUPA itu sendiri, adapun yang dimaksud dengan hak-hak atas tanah
sebelum berlakunya UUPA adalah hak-hak atas tanah yang diatur dan tunduk
pada hukum adat dan hukum Barat (BW).

Terhadap pelaksanaan konversi itu sendiri Prof. DR. A.P. Parlindungan, SH
memberikan komentar sebagai berikut :
“Bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan sesuatu yang boleh
dikatakan sangat drastis, oleh karena sekaligus ingin diciptakan berkembangnya
suatu unifikasi hukum keagrariaan di tanah air kita, sunggupun harus diakui
persiapan dan peralatan, perangkat hukum maupun tenaga trampil belumlah ada
sebelumnya”.

Walaupun pada kenyataannya UUPA telah melakukan perombakan yang
mendasar terhadap sistem-sistem agraria, terdapat dalam bagian kedua dari
UUPA adalah merupakan suatu pengakuan terhadap adanya jenis-jenis hak atas
tanah yang lama, walaupun hak tersebut perlu disesuaikan dengan hak-hak yang
ada dalam UUPA, sehingga dengan demikian tidak bertentangan dengan jiwa
dan filosofi yang terkandung dalam UUPA.

b. Landasan Hukum Konversi
Adapun yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah
yang ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 adalah bagian
kedua dari UUPA “tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri IX pasal
yaitu dari pasal I sampai dengan pasal IX”, khususnya untuk konversi tanah-
tanah yang tunduk kepada hukum adat dan sejenisnya diatur dalam Pasal II,
Pasal VI dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi, di samping itu untuk
pelaksanaan konversi yang dimaksud oleh UUPA dipertegaskan lagi dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962
dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 26/DDA/1970 yaitu “tentang penegasan
konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah”.

Beberapa ketentuan-ketentuan konversi hak atas tanah adat :
Pasal II Ketentuan konversi berbunyi :
ayat 1 : Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang
disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai
berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik,
yayasan, andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini , grant
sultan, landirijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas
bekas tanah partikilir dan hak-hak lain dengan nama apapun, juga
yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai
berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal
20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat
sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.

ayat 2 : Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing warga negara
yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah sebagai yang dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna
usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya,
sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Terhadap Pasal II ketentuan konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 19
dan Pasal 22 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1980 dan dengan
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1962, sehubungan dengan hal tersebut
maka jelaslah bahwa untuk pengkonversian dari hak-hak yang disebut dalam
Pasal II ketentuan konversi diperlukan tindakan penegasan :
a. Mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh kepastian apakah akan
dikonversi menjadi hak milik atau tidak.
b. Mengenai peruntukan tanahnya, jika ternyata konversinya tidak bisa menjadi
hak milik.

Penegasan tersebut diperlukan karena konversi dari pada hak tersebut di atas
disertai syarat-syarat yang bersangkutan dengan status yang empunya dan sifat
penggunaan tanah pada tanggal 24 September 1960.
Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut
dengan nama sebagai di bawah yang ada pada mulai berlakunya undang-
undang ini yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant countroleur,
bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan
hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut
oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya undang-undang ini menjadi hak
pakai tersebut dalam pasal 41 yat (1), yang memberi wewenang dan
kewajiban sebagaimana yang dipunyai undang-undang ini, sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang
ini”.

Dari bunyi Pasal VI ketentuan konversi tersebut maka hak-hak atas tanah seperti
ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas yang berasal dari
hukum adat dikonversikan menjadi hak pakai.
Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :
Ayat 1 : Hak gogolan, pukulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada
mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada
Pasal 20 Ayat (1).
Ayat 2 : Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi
hak pakai terebut pada Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang
dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada
mulai berlakunya undang-undang ini”.

Ayat 3 : Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau
sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri agrarialah yang
memutuskan.

Lebih lanjut tentang hak gogolan, pekulen atau sanggan diatur dalam Pasal 20
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 yang berbunyi :
(1) . Konversi hak-hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap
menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam Pasal VII ayat (1)
Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria
dilaksanakan dengan surat keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria
yang bersangkutan.

(2) . Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus
menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika meninggal dunia
gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu.

(3). Kepala Infeksi Agraria menetapkan surat keputusan tersebut pada ayat (1)
pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan sifat tetap atau tidak tetap
dari hak gogolan itu menurut kenyataannya.

(4). Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria dan
Bupati/Kepala Daerah tentang soal apakah sesuatu hak gogolan bersifat
tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang berangkutan berlainan
pendapat dengan kedua penjabat tersebut, maka soalnya dikemukakan
lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.

Dalam keputusan bersama Menteri Pertanian dan Agraria serta Menteri Dalam
Negeri No. SK 40/Ka/1964/DD/18/18/1/32 “tentang penegasan konversi hak gogolan tetap”, tertanggal 14 April 1964 yang menyatakan bahwa hak gogolan
tetap (sanggan/pekulen) dikonversikan menjadi hak milik karena hukum sejak
tanggal 24 September 1960 dan sejak itu hak tersebut tidak lagi tunduk kepada
ketentuan-ketentuan peraturan gogolan, melainkan kepada peraturan agraria.
Lebih lanjut ketentuan-ketentuan tentang konversi dalam UUPA ditegaskan lagi
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun
1962 dan SK. Menteri Dalam Negeri No. 26/DDA/1970.
Permohonan konversi dari tanah-tanah yang pernah tunduk kepada :
a. Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1958.
b. Hak atas tanah yang didaftar menurut Stb. 1873 No. 38, yaitu tentang
agrarisch eigendom.

c. Peraturan-peraturan yang khusus di daerah Yokyakarta, Surakarta,
Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat.

Dalam pelaksanaan konversinya diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran
Tanah yang bersangkutan dengan disertai tanda bukti haknya (kalau ada
disertakan pula surat ukurnya), tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang
mempunyai hak yang menyatakan kewarganegaraannya pada tanggal 24
September 1960 dan keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah
perumahan atau tanah pertanian.
Pasal 3 PMPA No. 2 tahun 1962 :
Pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak
tanah, maka oleh yang bersangkutan dijaukan :
a. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia
atau bukti surat pemberian hak oleh Instansi yang berwenang (kalau ada
disertakan pula surat ukurnya).
b. Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh asisten Wedana (Camat)
yang :
1. Membenarkan surat atau surat bukti hak itu.
2. Menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
3. Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan
surat-surat jual beli tanahnya.
c. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.

Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada
Hukum Adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang
dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA,
tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka ditempuhlah dengan upaya
“Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
setempat dikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli
yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak
seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian
dan keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962 :

Dalam pasal ini diatur lembaga konversi lain dinamakan “Pengakuan Hak”, yang
perlakuan atas tanah-tanah yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya,
maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor
Wilayah Pertanahan setempat, permohonan tersebut diumumkan 2 bulan
berturut-turut di kantor pendaftaran tanah dan kantor Kecamatan, jika tidak
diterima keberatan mereka membuat pernyataan tersebut kepada kantor BPN dan
kemudian mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanian setempat,
penerbitan pengakuan hak diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN, dari SK
pengakuan hak tersebut sekaligus mempertegaskan hak apa yang
diberikan/padanan pada permohonan tersebut, bisa saja hak milik, hak guna
usaha, atau hak guna bangunan atau hak pakai (A.P. Parlindungan ; 1990 : 42).


Sedangkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Sk 26/DDA. 1970
sebagai penjelasan dari peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun
1962 dalam diktum pertamanya : menegaskan bahwa yang dianggap sebagai
“tanda bukti hak” dalam Pasal 3 huruf a PMPA No. 2 tahun 1962 adalah :
a. Didaerah-daerah dimana sebelum tanggal 24 September 1960 sudah dipungut
pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.
1. Surat pajak (hasil) bumi atau verponding Indonesia yang dikeluarkan
sebelum tanggal 24 September 1960, jika antara tanggal 24 September
1960 dan saat mulai diselenggarakan pendaftaran tanah menurut
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 terjadi pemindahan hak (jual-
beli, hibah atau tukar-menukar) maka selain surat pajak yang dikeluarkan
sebelum tanggal 24 September 1960 tersebut di atas wajib disertakan juga
surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukarnya yang sah (dibuat di
hadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/adat yang bersangkutan).
2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai
tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di
dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.
b. Di daerah-daerah dimana sampai tanggal 24 September 1960 belum dipungut
pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.
1. Surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukar yang dibuat dihadapan
dan disaksikan oleh Kepala Desa/Adat yang bersangkutan sebelum
diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut peraturan pemerintah No.
10 tahun 1961 di daerah tersebut.
2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai
tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di
dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.
Dengan demikian dapat disimpulan bahwa seluruh hak-hak atas tanah
yang ada sebelum berlakunya UUPA melalui lembaga konversi masuk
kedalam sistem UUPA melalui padanannya dan setelah itu diperlakukan
seluruh ketentuan-ketentuan UUPA dengan tidak perlu lagi menyebut
bahwa tanah itu bekas sesuatu hak yang ada sebelum UUPA.

2. Objek dan Tujuan Konversi
a. Objek konversi
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hak atas tanah sebelum berlakunya
UUPA terdiri dari hak-hak yang tunduk pada hukum adat dan hak-hak yang
tunduk pada hukum barat.
Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah :
1. Hak agrarisch egeidom
Lembaga agrarisch egeidom ini adalah usaha dari Pemerintah Hindia
Belanda dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik yang berupa milik
perorangan maupun yang ada hak perorangannya pada hak ulayat dan jika
disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat pendukung hak ulayatnya,
tanahnya dikonversikan menjadi agrarisch ageidom.
2. Tanah hak milik, hak Yasan, adar beni, hak atas druwe, hak atas druwe desa,
pesini.

Istilah dan lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal yang
terdapat di Jawa.
3. Grant Sultan yang terdapat di daerah Sumatra Timur terutama di Deli yang
dikeluarkan oleh Kesultanan Deli termasuk bukti-bukti hak atas tanah yang
diterbitkan oleh para Datuk yang terdapat di sekitar Kotamadya Medan. Di
samping itu masih ada lagi yang disebut grant lama yaitu bukti hak tanah
yang juga dikeluarkan oleh Kesultanan Deli.
4. Landrerijen bezitrecat, altijddurende erfpacht, hak-hak usaha atas bekas
tanah partikelir.

Selain tanah-tanah yang disebut di atas yang tunduk pada hukum adat ada juga
hak-hak atas tanah yang lain yang dikenal dengan nama antara lain ganggan
bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituas dan lain-lain.

b. Tujuan konversi
Dengan diberlakukannya UUPA (UU No. 5/1960) yang menganut asas unifikasi
hukum agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah
air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus
disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam UUPA melalui
lembaga konversi.

Jadi dengan demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas tanah pada hak-hak atas
tanah menurut sistem UUPA di samping untuk terciptanya unifikasi hukum
pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah terdahulu untuk
disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di dalam UUPA dan untuk
menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu dapat
berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur
sebagaimana yang dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat
(3).

B. Tentang Pendaftaran Tanah
1. Pengertian dan Landasan Hukum Pendaftaran Tanah

a. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik
terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan
pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan
status terhadap tanah.

Dalam Pasal 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan pengolahan, pembukuan
dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta
dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
sudah ada haknya dan hak milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.

Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis
dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak
yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun tanah
negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut hukum
adat dan hak atas tanah menurut UUPA.

b. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas
tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk
pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan
kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht
Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur
di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2). Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4). Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat
yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang
dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para
pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk
kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
Pasal 23 UUPA :
Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan
dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 32 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian
juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha,
kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
Pasal 38 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya,
demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya
peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhirnya.

Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang
dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah
merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan,
pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.

2. Tujuan Pendaftaran Tanah
Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam
ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah,
dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak
atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster”
artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya
pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat
mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas
dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di
atas tanah tersebut.

Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak
seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga
untuk penetapan suatu perpajakan. (A.P. Parlindungan; 1990 : 6).

a. Kepastian hak seseorang
Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi
jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak-
hak lainnya.

b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar,
maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan
didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas-
batasnya.
c. Penetapan suatu perpajakan
Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal
tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang.

Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi
informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya,
maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan,
demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di
dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga
bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu
UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu
diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan.

C. Pendaftaran Hak atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi dan PP N.
24 Tahun 1997.
Pendaftaran hak atas tanah menurut Pasal 19 UUPA ditujukan kepada
pemerintah agar melakukan pendaftaran tanah-tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia, sebaliknya pendaftaran menurut Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38
UUPA adalah ditujukan kepada para pemegang hak agar menjadikan kepastian
hukum mereka sendiri, karena pendaftaran atas setiap peralihan,
penghapusannya dan pembebanannya akan banyak menimbulkan komplikasi
hukum jika tidak didaftar, pada hal pendaftaran itu merupakan bukti yang kuat
sebagaimana disyaratkan Pasal 23 ayat 1 bahwa hak milik demikian pula setiap
peralihan hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA, begitupun
dengan hak guna usaha (Pasal 32 UUPA) dan hak guna bangunan (Pasal 38
UUPA), termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian pula setiap peralihan
dan penghapusan hak tersebut harus didaftar.

Dari bunyi pasal 19 UUPA tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa UUPA
telah memerintahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah
dan untuk itu diperlukan suatu Peraturan Pemerintah, sebagai implementasi dari
pasal 19 UUPA tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1961 yaitu tentang pendaftaran tanah yang kemudian telah diganti dengan PP
No. 24 Tahun 1997. Produk hukum terakhir ini sama sekali tidak merubah
prinsip-prinsip dasar yang telah dikembangkan oleh Paal 19 UUPA dan PP 10
Tahun 1961. Dengan adanya PP No. 24 tahun 1997 maka berlakulah suatu
pendaftaran tanah yang uniform untuk seluruh wilayah Indonesia, yang
mencakup hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum Barat dan hukum Adat
semuanya diseragamkan artinya bukti-bukti ex BW (burgerlijk wetboek) harus
dikonversikan kepada sistem yang diatur oleh UUPA begitu juga terhadap tanah-
tanah adat yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.

PP No. 24 Tahun 1997 mengakui dengan jelas kedudukan hak milik adat baik
bersifat perorangan atau kelompok. Untuk membuktikan hak milik adat masih
diakui, pada waktu pendaftaran hak atas tanah secara sistematis sebagai bukti
hak atas tanah adat, yaitu :
1. Surat tanda bukti hak milik dan Grant Sultan yang dikeluarkan berdasarkan
peraturan Swapraja dan hak atas tanah yang lainnya yang diakui selama tidak
bertentangan dengan UUPA.
2. Akta pemindahan hak dibuat berdasarkan hukum adat yang dibubuhi
kesaksian oleh kepala desa.
Pasal 24 ayat (1) No. 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara
pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang berasal dari
konversi dengan :
a. bukti-bukti tertulis
b. keterangan saksi dan/atas pernyataan yang bersangkutan yang kadar
kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik cukup
untuk mendaftarkan hak.

Pada ayat (2) dikatakan, apabila pembuktian di atas tidak ada lagi, maka
pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih berturut-turut
oleh pemohon pendaftaran tanah dengan syarat :
1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh
kesaksian orang yang dapat dipercaya.
2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak
dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan atau pihak lain (Chadidjah Dalimunthe, 2000 : 136 – 137).

Sehubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat tanah
oleh Pemerintah, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16
Tahun 1975 (PMDN No. 16/1975), tentang kegiatan pendaftaran tanah dan
pemberian sertifikat dalam pengukuran desa demi desa menuju desa lengkap
sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti
dengan PP No. 24 Tahun 1997. Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 16 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961,
maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan
Pertahanan Nasional No. 3 Tahun 1995 yaitu untuk melaksanakan pendaftaran
secara sistematis baik tanah yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat.

Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 3 Tahun 1995 mengatur tentang pendaftaran tanah baik yang memilki bukti
hak atas tanah secara tertulis maupun bukti tidak tertulis yaitu penguasaan fisik

atas sebidang tanah. Adapun bukti tertulis tersebut yang berlaku terhadap tanah
adat, adalah ;
1. Keterangan hak milik adat dikeluarkan Daerah Swapraja
2. Grant Sultan
3. Akta pemindahan hak berdasarkan hukum adat
4. Girik.

Untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematik terhadap hak atas tanah
yang tunduk kepada Hukum Adat dengan bukti hak atas tanah tersebut di atas,
hal ini tidak terlepas dengan konversi terhadap hak atas tanah. Adapun hak yang
dikonversi berlaku terhadap hukum adat dalam pendaftaran tanah, yaitu :
1. Hak milik adat
2. Grant Sultan
3. Grant lama
4. Girik
5. Hak Agrarisch eigendom
6. Hak Druwe dan Pesini
7. Hak Usaha Gogolan
8. Hak gogolan tak tetap, Pekulen dan Grant C dan D
9. Tanah Bengkok

Untuk konversi dan pendaftaran hak atas tanah yaitu Hak milik adat, Grant
Sultan, Grant lama, Girik, Hak Agrarisch Eigendom, Hak Druwe, Hak Pesini dan
Hak Usaha Gogolan dikonversikan menjadi hak milik atas tanah sebagaimana
menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Sedangkan hak
gogolan tak tetap, hak pekulen dan Grant C dan D dikonversikan menjadi hak
pakai privat dan untuk tanah bengkok akan dikonversi menjadi hak pakai khusus.

Pelaksanaan pendaftaran tanah baik dilakukan tersendiri (permohonan individu)
maupun dilakukan secara sistematis (massal) terhadap hak atas tanah yang
tunduk kepada hukum adat yang memiliki bukti baik tertulis maupun tidak
tertulis, sebelum didaftarkan harus dikonversi. Pelaksanaan konversi hak atas
tanah dilakukan oleh Panitia Pendaftran ajudikasi yang bertindak atas nama
Kepala Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan untuk tanah yang tidak
mempunyai bukti tertulis dalam pendaftaran tanah secara sistematis dilakukan
dengan proses pengakuan baik.

Pelaksanaan konversi dan pengakuan hak terhadap hak atas tanah adat oleh
Pemerintah dibentuk format yang baku oleh Badan Pertanahan Nasional. Untuk
pendaftaran tanah secara sistemtis ini harus berlaku di daerah yang sudah
dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, untuk desa yang belum
dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, maka pelaksanaan pendaftaran
hak-hak atas tanah yang bersangkutan.

Untuk desa lengkap yang berkepentingan mengajukan permohonan pendaftaran
hak-hak atas tanah (hak milik adat) harus melampirkan tanda bukti hak dan surat
keterangan hak yang diperlukan untuk pendaftaran.

Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik berlalu untuk tanah yang sudah
bersertifikat atau memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah tersifat sementara
maupun yang belum memiliki bukti terhadap hak atas tanah.
Pendaftaran sistematis bertujuan untuk memudahkan bagi pemegang hak atas
tanah untuk melakukan pendaftaran hak.

Dengan berlakunya PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah ini
diharapkan permasalahan tentang informasi mengenai pertanahan ini dapat
dihindarkan kekurangan atau tidak adanya jelasnya status kepemilikan (hak-hak
atas tanah) yang ada, agar turwujud tujuan dari undang-undang Pokok Agraria
yaitu kepastian hukum hak atas tanah dan terwujudnya unifikasi hukum
pertanahan di Indonesia.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Melalui lembaga konversi hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya
UUPA disesuaikan dengan hak yang ada di UUPA. Untuk menjamin kepastian
hukum maka semua hak atas tanah harus didaftar.

Pendaftaran hak atas tanah adat menurut ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 adalah
sebelum didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Terhadap hak atas tanah
adat yang memiliki bukti-bukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan
konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran ajudikasi yang bertindak atas nama
Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya dilakukan dengan penegasan hak
sedangkan terhadap hak atas tanah adat yang tidak mempunyai bukti dilakukan
dengan proses pengakuan hak.

B. Saran
1. Agar supaya pemasyarakat UUPA terus dilakukan sehingga masyarakat
mengetahui secara baik tentang peraturan pertanahan.
2. Perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan
Pertanahan Nasional secara mandiri sehingga masyarakat akan mengerti
pentingnya sertifikat.
3. Dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah di
Indonesia bukan diutamakan di daerah perkotaan tetapi pendaftaran
hendaknya dilakukan di desa terutama desa tingkat ekonomi lemah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1983, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni
Bandung.

Bachtiar Efendie, 1983, Pendaftaran Tanah di Idonesia dan Peraturan
Pelaksananya, Alumni, Bandung.

Fausi Riduan, 1982, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila ,
Dewaruci Press, Jakarta.

Harsono Budi, 1960, UUPA Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok
Belajar “ESA”, Jakarta.

Parlindungan A.P, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar
Maju, Bandung.

____________, 1990, Komentar atas UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.

____________, 1990, Konversi Hak-hak atas Tanah, Penerbit Mandar Maju,
Bandung.

____________, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju,
Bandung.

____________, 1990, Berakhirnya Hak-hak atas Tanah Menurut Sistem UUPA,
Penerbit Mandar Maju, Bandung.

____________, 1991, Landreform di Indonesia Suatu Perbandingan, Penerbit
Mandar Maju, Bandung.

Ruchiyat Eddy, 1986, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya U UPA,
Penerbit Alumni, Bandung.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar